Keunikan Desa Wisata Penglipuran-Bali, yang perlu di Ketahui Wisatawan.

“Selamat Datang di Desa Wisata Penglipuran” satu kalimat tertulis jelas di papan warna cokelat, tepat di salah satu pintu masuk menuju permukiman.

Desa Wisata Penglipuran, terletak di Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, yang berjarak 45 kilometer dari Kota Denpasar ke arah timur menuju Bukit Kintamani.

Dari Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, jarak tempuhnya sekitar dua jam yang jalannya berkelok, menanjak dan tidak terlalu lebar.

Di sana, pengunjung disambut pagar berukir dan patungnya khas Bali, lalu ratusan rumah adat berjajar dan sebagian di antaranya terbuat dari bambu.

Tipe jalan di desa itu berundak-undak, sehingga dipastikan tak ada kendaraan jenis apapun melintas, dan mayoritas rumah maupun pekarangannya serupa.

Total terdapat 77 pekarangan dan setiap pekarangan terdiri dari dua rumah adat, dapur tradisional dan balai sakenem (tempat upacara) serta tempat suci bernama Sanggahan.

Setiap pekarangan terdapat empat pintu, yaitu bagian depan akses ke jalan desa, kanan dan kiri ke tetangga, serta belakang menuju jalan melingkar sebagai jalan kendaraan.

Jumlah penduduk di desa yang namanya kini mendunia tersebut sebanyak 1.038 orang jiwa dan 240 kepala keluarga.

“Jumlahnya bisa berubah, sebab ada warga di sini yang setelah menikah dengan warga desa lain ikut dengan keluarga, tapi ada juga yang tinggal di sini,” ujar Ketua Pengelola Desa Wisata Penglipuran, I Wayan Moneng.

Pria yang merupakan sesepuh adat setempat itu bersyukur bisa memperkenalkan desanya ke masyarakat luas, bahkan tak hanya dikenal wisatawan dalam negeri, tapi juga luar negeri.

Berbagai penghargaan diterima Penglipuran, antara lain Juara I Cipta Award 2013, Desa Wisata Juara II Tingkat Nasional 2014, Desa Wisata Standar ASEAN 2017, Juara I Homestay tingkat Provinsi, Standar Homestay Asia, Green Destination Sustainable 2019 serta penghargaan Non Tourism sebagai Kampung Iklim.

Tak hanya bangunan tempat tinggal, pakaian dan bahasa sehari-hari pun menjadi perhatian agar tak sirna.

Kunci pengelolaan desa adat di sana, kata dia, adalah komitmen memegang teguh prinsip budaya dan menghormati budaya yang datang dari luar sehingga tidak terjadi benturan.

“Kami menghargai budaya orang lain yang dibawa ke sini, tapi desa ini juga punya prinsip budaya yang harus dijaga dan dihormati,” tuturnya.

Rumah Bambu

Di era modernisasi zaman sekarang, desa wisata Penglipuran tak kehilangan daya magisnya, bahkan justru menjadi salah satu destinasi yang paling dicari wisatawan di Pulau Dewata, bahkan ada rumah adat dari bambu yang berusia seabad (100 tahun) atau lebih.

“Desa kami memang berada di kawasan hutan bambu, karena itu kakek saya mewariskan rumah bambu kepada bapak, lalu diwariskan ke saya lagi,” ucap Nanglibat (76), warga Penglipuran, saat menceritakan `desa bambu` yang sepertiga dari 112 hektare luas desa itu merupakan hutan bambu.

Saat itu, ayahnya menyebut usia rumah bambu itu sudah 90 tahun, sehingga kalau dihitung dari kakeknya hingga ayahnya, tentu berusia lebih dari satu abad, tapi kakek dan ayahnya memang pandai merawat warisan turun temurun itu, sehingga terlihat masih bagus.

“Ada dua rumah bambu di rumah saya dan salah satunya sudah saya ganti atapnya dari ilalang menjadi genteng, karena lapuk,” tutur bapak dari dua anak yang bekerja sebagai petani di desa seberang, Desa Kubu.

Ia juga membangun dua rumah lagi untuk anaknya yang terbuat dari batu bata dan kayu. “Saya sendiri yang membangun untuk anak-anak saya, tapi satunya saya tempati, karena satu anak saya ikut suaminya di Jawa,” paparnya.

Ya, deretan rumah adat di Desa Adat Penglipuran memang tidak semuanya terbuat dari bambu, bahkan mayoritas sudah terbuat dari batu bata dan kayu, tapi setiap rumpun rumah untuk satu keluarga itu ada 1-2 rumah di antara 6-7 rumah yang ada itu terbuat dari bambu.

Untuk memasuki setiap rumpun rumah itu, wisatawan harus melewati “angkul-angkul” (pintu gerbang khas Bali). Desa adat yang dirancang khusus untuk wisata itu diresmikan sebagai desa wisata sejak tahun 1995 oleh Menteri Pariwisata saat itu, Soesilo Soedarman.

Selain angkul-angkul, juga ada bangunan suci (merajan), dapur, tempat tidur (bale), ruangan tamu, lumbung (tempat menyimpan padi) dan kamar mandi.

Hal yang mungkin baru adalah ruangan tamu atau “Bale Delod” yang disulap menjadi toko untuk tempat memajangkan aneka jenis cindera mata hasil karya warga setempat yang sebagian sudah tidak hanya bertani. Cindera mata yang dipajang antara lain kain tenunan tradisional.

Ya, Anda dapat keluar-masuk ke ratusan rumah adat berbahan baku bambu dari hutan bambu yang diperkirakan sudah ada sejak abad XI itu dengan leluasa. Perkiraan dari abad XI itu dibuktikan dengan adanya bangunan suci (pelinggih) “Ratu Sakti Mas Pahit” di sekitar Desa Penglipuran.

Menarik bukan? Anda cukup merogoh kocek Rp10.000 per orang untuk menikmati suasana “masa lalu” dari Pulau Dewata yang takkan terlupakan hingga kembali ke kota Anda sendiri.

Selain keindahan Desa Adat Penglipuran, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun mengatakan wisatawan yang berlibur ke Provinsi Bali juga dapat menikmati kegiatan budaya unggulan yang masuk dalam daftar Kharisma Event Nusantara (KEN) 2022.

“Ada tujuh festival budaya yang lolos dalam daftar KEN 2022 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan salah satunya adalah ‘Penglipuran Village Festival’ yang berlangsung pada 7-10 Desember 2022,” ujar Tjok Pemayun.

Untuk keamanan dan kenyamanan wisatawan, pihaknya meminta pengelola daya tarik wisata (DTW) di berbagai kabupaten/kota di Pulau Dewata tetap patuh menggunakan scan barcode aplikasi PeduliLindungi untuk menskrining pengunjung yang datang, meskipun kasus COVID-19 sudah melandai.

“Penggunaan PeduliLindungi tak saja untuk kepentingan men-tracing (melacak) pengunjung ketika ada kasus positif COVID-19, tetapi juga penting untuk mengukur daya dukung DTW. Bagi pengelola, dari penggunaan PeduliLindungi, pengelola DTW dapat mengetahui waktu yang menjadi puncak-puncak kunjungan wisatawan, sehingga menyiapkan petugas dan pelayanan yang optimal,” katanya.

Selain itu, pihaknya pun mendorong agar pengelola DTW dan manajemen hotel tetap disiplin menerapkan protokol CHSE  atau Cleanliness (kebersihan), Health (kesehatan), Safety (keamanan), dan Environment Sustainability (kelestarian lingkungan) yang sertifikatnya sudah dikantongi.

“Dengan demikian, wisatawan bisa merasa aman dan nyaman saat berwisata ke Bali. Apalagi sekarang orang asing yang datang ke Bali pasti menanyakan sudah tersertifikat CHSE atau belum,” ujar mantan Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan Setda Provinsi Bali itu. (*/Edy M Ya’kub)